Bikin Produk Handicraft Dari Kertas Bekas Tembus Pasar Global
Koran bekas biasanya dibuang karena sudah tidak punya nilai jual. Namun di tangan para ibu di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, koran bekas bisa diolah menjadi ratusan jenis kreasi kerajinan tangan yang unik dan fungsional. Produk mereka bahkan tembus pasar global. Diekspor ke beberapa negara Eropa dan Amerika.
Bisnis sosial yang diberi nama Salam Rancage itu bermula dari Sekolah Alam (Salam) Bogor yang berdiri sejak tahun 2012. Bisnis ini lebih fokus pada pengembangan ekonomi berbasis pemberdayaan perempuan dan pelestarian lingkungan.
Setelah didampingi oleh Kementerian Perdagangan melalui program Designer Dispatch Services (DDS), bisnis Salam Rancage semakin maju pesat.
Pendiri sekaligus Direktur Utama Salam Rancage Aling Nur Naluri mengatakan, ia merintis bisnis karena ingin memajukan taraf ekonomi perempuan sekitar.
“Banyak perempuan-perempuan di sekitar kami yang bekerja di sektor non formal dengan upah yang tidak layak. Jadi kami berpikir untuk membuat bisnis dengan tujuan membuka lapangan kerja bagi mereka dengan upah yang lebih adil,” ujar wanita yang biasa disapa Aling ini di sela-sela acara Trade Expo Indonesia (TEI) 2018 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD Tangerang.
Ide untuk menciptakan lapangan kerja tersebut kemudian berkembang ke ide soal bisnis apa yang tepat, mudah dikerjakan, ramah perempuan, dan dapat dikerjakan di rumah.
“Kami berpikir pekerjaan apa yang menggunakan teknologi yang sederhana tanpa harus meninggalkan rumah. Lalu tercetuslah handycraft. Alasannya lebih karena bisa dikerjakan di rumah, tidak butuh tenaga banyak dan lebih ramah perempuan. Lalu kita lebih mengerucut ke recycle karena punya konsep menyelamatkan dan berdampak positif ke lingkungan. Dikerucutkan lagi ke kertas koran. Karena market dari produk kertas koran ini yang menurut kita paling memungkinkan untuk kita tempuh. Akhirnya dari tahun 2012 terbentuklah ini,” imbuh wanita sudah empat kali mengikuti ajang Trade Expo Indonesia (TEI).
Aling menjelaskan, pendampingan Kemendag melalui program DDS, sangat positif. Membuka cakrawala, dan memberi panduan bagaimana sebuah produk harus dibuat.
Tentu, berbisnis dengan teknologi sederhana bukan berarti tanpa tantangan. Menurut Aling, memulai dan memperkenalkan produk handycraft memiliki tantangan yang besar sekali. Hal ini dikarenakan produk recycle alias daur ulang, sering dikategorikan sebagai produk kelas dua dan dipandang sebelah mata.
“Produk handycraft sering dicap sebagai produk non premium. Di samping itu, ibu-ibu ini juga bukan pengrajin. Resikonya, kualitas produk diragukan. Apalagi recycle juga identik dengan sampah dan kotor,” katanya.
Maka, lanjut Aling, supaya bisnis dapat terus berjalan, produk yang ditawarkan harus disukai orang serta dibeli karena memang memiliki fungsi. Desainnya harus keren, supaya orang beli bukan karena kasihan atau karena momen tertentu saja.
"Kami mau konsumen membeli karena memang suka seperti halnya produk baru," ucapnya.
Wanita yang kini telah memiliki 97 mitra pengrajin yang tersebar di Cibubur dan Jakarta ini menambahkan, merintis bisnis memang bukan perkara mudah. Apalagi bisnis sosial dengan produk yang memanfaatkan limbah. Aling mengakui, ia memulai bisnis dengan modal yang sangat kecil yaitu sekitar 5 jutaan. Ditambah lagi, di tahun pertama, dari total puluhan mitranya, yang bertahan hanya satu orang.
Kini, dengan mitra yang hampir mencapai seratus dan 8 orang tim ahli, Aling menuturkan bahwa ia memiliki strategi untuk membuat karyawannya tetap komit dan bertahan.
“Strateginya dibalik. Biasanya UKM dimulai dari produksi baru kemudian mencari market. Kalau kami, mencari market dahulu. Tahun pertama itu betul-betul riset marketnya seperti apa, desain yang mereka sukai seperti apa. Sehingga kita punya kepastian, kalau kita mau produksi suatu produk, kita sudah tahu marketnya kemana. Karena marketnya sudah ada, maka ibu-ibu pengrajin ini ordernya lebih berkelanjutan. Karena kejelasan inilah, mereka lebih percaya ke kita
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News